Rabu, 24 Februari 2016

You're not my slave



Aku membncinya, itulah yang selalu ku bisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar – benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orang tua, membuatkku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun.
Kedua orang tuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu – satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.
Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar – benar menjalani tugasku sebagai seorang istri.
Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang dia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Dirumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku.
Aku tak suka handuk basahnya yang diletakan ditempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu diatas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika dia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Aku marah kalu dia menggantung bajunya di lemari bajuku, aku juga marah kalau dia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau dia menghubungiku hingga berkali – kali saat aku sedang bersenang – senang dengan teman – temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak mempunyai anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan aku pun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya dia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun dia tahu dia membiarkannya. Aku pun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan. Dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh dia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak – anak tak terasa berulang tahun yang kedelapan. Seperti pagi – pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak – anak sudah menungguku dimeja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak – anak sekolah.
Hari itu, dia mengingatkan kalau hari itu adalah peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa memperdulikan kata – katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mall dan tidak hadir di acara ibu. Yah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orang tuaku.
Sebelum kekantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak – anak. Tetapi hari itu, dia juga memelukku sehingga anak – anak menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak – anak. Dia kembali mencium beberapa kali di depan pintu, seakan – akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, aku pun memutuskan untuk kesalon. Menghabiskan waktu kesalon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak aku sukai. Kami mengobrol dengan asyik sambil memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal dirumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukan apapun di dalam tas. Sambil berusaha mengingat – ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“ Maaf sayang, kemarin farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruh kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan diatas meja kerjaku. “ katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudia, HPku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “ Apalagi ?? “
“ Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang dimana ?” Tanya suamiku cepat, kuatir aku menutupnya kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawaban lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayar tagihanku.
Yang mempunyai salon sahabatku sebenarnya sudah membolehkan aku pergi dan mengatakan aku bisa membayanya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menhubungi HP suamiku. Tak ada jawaban meskipun berkali – kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali bordering telponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri. “ Selamat siang, Ibu. Apakah ibu istri dari Bapak Armandi ?”
“Ya!” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat itu dia dibawa kerumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih.
Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat HP yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa dengan wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana tahu – tahu seluruh keluarga hadir menyusulku.
Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku.
Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepatnya ketika kumandang azan magrib terdengar seorang dokter keluar menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Dia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan strokelah yang menyebakan kematianya.
Setelah mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orang tuaku dan orang tuanya yang shock.
Sama sekali tak ada air mata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ibu ayah dan mertuaku.
Anak – anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membautku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajahnya.
Kusadari baru kali inilah aku benar – benar menatap wajahnya yang tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah dia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Air mata merebak di mataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mngusap agar air mata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, air mataku semakin deras membanjirin kedua pipiku.
Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatanya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal dia selalu mengatur apa yang kumakan.
Dia memperhatikan vitamin dan obat yang harus aku konsumsi terutama ketika saat mengandung dan melahirkan. Dia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku malas makan.
Aku tak pernah tahu apa yang dia makan karena aku tidak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang dia sukai dan tidak sukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku penggemar mie instan dan kopi kental.
Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu dia mungkin terpaksa makan mie instan karena aku hamper tak pernah memasak untuknya.
Aku hanya memasak untuk anak – anak dan diriku sendiri.
Aku tak peduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Dia bisa makan masakanku hanya kalau ada sisa.
Dia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena aku tak mau jauh – jauh dari tempat tinggal teman – temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahn diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun.
Aku tak tahu apa pun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi dadaku.
Keluarga besarku membujuku dengan sia – sia karena mereka tak pernah tau mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari – hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginanku untuk bersamanya.
Di hari – hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujuku makan.
Tapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujuku makan kalau aku sedang ngambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasanya dan ketika ibuku yang dating, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap dia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu dirumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku sering kesal karena dia begitu berantakan di kamar tidur kami, tapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika dia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi computer, mengusap – usap tutsnya berharap bekas jari – jarinya masih tertinggal disana.
Dulu aku paling tidak suka dia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnya pun tidak mau kuhapus.
Remot TV yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remot.
Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun dia sudah tidak ada.
Aku marah karena baju – bajunya masih disana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku.
Aku marah karena tak ada lagi yang membujuku untuk tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku salat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku salat karena aku ingin minta maaf, meminta maaf kepada allah kerana menyia – nyiakan suami yang dianugerahi kepadaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Salatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit.
Cinta allah ditunjukannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak – anak.
Teman – temanku yang selama ini kubela – belain, hampir tak pernah menunjukan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang di transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah tersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihat aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah dari mana dia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.
Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak – anakku tak akan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Tapi bekerja dimana?
Aku hampir tak punya pengalaman sama sekali. Semua selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris.
Dia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat.
Surat pernyataan suami bahwa dia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak – anak, dia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Aku terisak membaca surat itu. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.
Suamiku membauat beberapa usaha dari hasil deposito uang tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun di menejeri oleh orang – orang kepercayaannya.
Aku hanya bisa menangis terharu mengertahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya dia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berfikir untuk menikah lagi. Banyak lelaki yang hadir tak mampu menhapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku.
Hari demi hari hanya untuk merawat anak – anak. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu per satu meninggalkanku selamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini putra putriku berusia dua puluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku dinikahi seorang pemuda dari kota lain.
Putri kami bertanya “ Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya farahkan gak bisa masak, gak bisa nyuci, gimana ya Bu? “
Aku merangkulnya sambil berkata, “ Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang dia miliki dan kamu akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kamu akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “ Seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “ Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan 10 tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

THE END :P